Sabtu, 25 Juli 2009

Tradisi Ngahiras

TRADISI ”NGAHIRAS” SEBAGAI MODAL SOSIAL KEGOTONGROYONGAN PADA MASYARAKAT PEDESAAN DI KABUPATEN SUBANG

oleh : Rosyadi

Masyarakat di lokasi penelitian adalah masyarakat agraris yang mengandalkan hidupnya dari bertani sawah. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja, oleh karena bila tiba masa panen atau masa menanam padi, pekerjaan-pekerjaan sambilan tadi segera ditinggalkan. Dalam konteks sosiologis, masyarakat di lokasi penelitian dapat digolongkan ke dalam tipologi masyarakat pedesaan, dengan ciri-ciri utama:
  • Penduduknya yang secara etnis bersifat homogen,
  • Di antara para warganya memiliki hubungan yang erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaana lainnya, di luar batas-batas wilayahnya.
  • Sistim kehidupannya berkelompok, atas dasar sistim kekeluargaan.
  • Golongan orang-orang tua pada masyarakat di lokasi penelitian, pada umumnya memegang peranan yang penting. Orang-orang akan selalu meminta nasehat kepada mereka, apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
  • Pengendalian sosial masyarakat sangat kuat, yang diatur dengan norma-norma adat-istiadat yang berfungsi secara efektif.
  • • Rasa persatuan erat sekali, yang kemudian menimbulkan saling kenal-mengenal dan saling tolong menolong yang akrab.
Tradisi ‘ngahiras’ yang hingga kini masih berlangsung di kalangan masyarakat Kecamatan Buahdua, Kabupaten Subang, merupakan manifestasi dari nilai-nilai kegotongroyongan yang hidup di kalangan masyarakat setempat, khususnya dalam hal pengerahan bantuan tenaga kerja bagi aktivitas-aktivitas sosial yang melibatkan orang banyak. Tradisi ngahiras kini masih berlangsung terutama dalam aktivitas pertanian, hajatan, dan membangun rumah. Namun demikian, bila dibandingkan dengan masa dulu, tradisi ini sudah mulai ada pergeseran. Kendatipun tradisi ini masih kerap berlangsung di kalangan masyarakat setempat, akan tetapi kadarnya sudah mulai berkurang, tidak seintensif zaman dulu.
Nampaknya tradisi ‘ngahiras’ ini tidak luput dari pengaruh faktor ekonomi. Kini unsur uang mulai menjadi bahan pertimbangan dalam aktivitas ini, kendatipun tidak diawali dengan proses tawar-menawar. Fenomena ini khususnya terjadi pada tradisi ngahiras dalam aktivitas pertanian.
Dalam analisis sosiologis, tradisi ‘ngahiras’ merupakan sebuah modal sosial. Ia merupakan sebuah kekuatan sosial yang dibentuk oleh sistem jaringan hubungan sosial yang terpola dan bersifat koperatif. Fungsinya adalah untuk menjamin berlangsungnya keserasian masyarakat sesuai dengan sistem nilai budaya yang berlaku di lingkungan masyarakat yang bersangkutan.

Rekomendasi
Tidak dapat disangkal, bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan modern, telah memberikan manfaat yang sangat besar dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi kehidupan umat manusia. Demikian pula, kemajuan zaman, menuntut perubahan-perubahan dalam tata kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Diakui bahwa sistem ekonomi pasar yang berbasis uang, telah banyak mengubah pola kehidupan masyarakat, tidak terkecuali kehidupan masyarakat di daerah-daerah pedesaan.
Masuknya sistem ekonomi yang berbasis uang, telah mampu menggeser peranan dan keberadaan tradisi-tradisi masyarakat yang berbasis pada sistem kegotongroyongan, termasuk juga tradisi ‘ngahiras’. Padahal tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun, dan terbukti telah melahirkan sikap dan perilaku yang arif terhadap lingkungan sosialnya.
Mengacu pada pernyataan ini, berikut ini disampaikan beberapa saran:
  1. Upaya-upaya penggalian, penginventarisasian dan pengkajian terhadap-unsur-unsur budaya lokal, perlu senantiasa dilakukan. Kegiatan ini penting dilakukan mengingat semakin tersisihkannya keberadaan unsur-unsur kebudayan lokal ini oleh berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Padahal banyak dari unsur-unsur kebudayan lokal ini yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat, dan terciptanya keserasian sosial; dan sebaliknya, tidak selamanya teknologi dan ilmu pengetahuan modern mampu membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat lokal.
  2. Kebijakan-kebijakan yang akan diturunkan oleh pemerintah pusat maupun daerah hendaknya memperhatikan tradisi-tradisi masyarakat setempat, jangan sampai kebijakan yang bertujuan untuk memajukan dan menyejahterakan masyarakat ini, malah menimbulkan gejolak dan disharmoni masyarakat.
  3. Masyarakat yang memiliki tradisi ‘ngahiras’, perlu senantiasa diingatkan dan ditingkatkan kesadarannya tentang arti pentingnya tradisi ngahiras ini sebagai sebuah modal sosial yang sangat penting artinya bagi terciptanya keserasian masyarakat yang berlandaskan pada nilai-nilai kegotongroyongan.